Kamis, 17 Maret 2011

Penggunaan Pewarna Tekstil Pada Makanan

Penampilan makanan, termasuk bentuk dan warnanya dapat menambah daya tarik dan menggugah selera. Oleh karenanya, sejak dahulu kala penggunaan pewarna makanan telah dikenal luas di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat tradisional Indonesia biasa menggunakan bahan – bahan alami sebgai pewarna makanan. Misalanya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, jambu untuk warna merah, dll. Namun, seiring perkembangan teknologi dan tuntutan zaman, penggunaan pewarna makanan alami mulai tergantikan dengan pewarna makanan sintesis. Hal ini dikarenakan pewarna alami memiliki banyak keterbatasan, antara lain: warnanya tidak homogen, mudah pudar, “dosis”-nya besar namun ketersediaannya terbatas, penggunaannya yang tidak praktis, dll sehingga sangat tidak cocok digunakan dalam produksi pangan skala industri. Di lain sisi, pewarna sintesis dapat menjawab keterbatasan yang dimiliki oleh pewarna alami; warnanya homogen dan lebih menarik, “dosis”-nya kecil, harga yang relatif murah, penggunaan yang praktis, tidak mudah pudar, dll.

Sejatinya, penggunaan pewarna makanan alami maupun pewarna makanan sintesis sama – sama aman jika sesuai dengan peruntukan dan takarannya masing – masing. Pemerintah—dalam hal ini Departemen Kesehatan—pun telah memberikan panduan dalam menggunakan pewarna makanan sintesis yang dengan memberikan “Daftar Pewarna Makanan Sintesis yang Diizinkan di Indonesia” melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Pemerintah pun telah memberikan informasi tentang pewarna yang tidak diizinkan digunakan sebagai pewarna makanan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya.
Namun sayangnya, peraturan ini belum terlaksana dengan baik. Masih banyak dijumpai pewarna sintetis yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukkannya. Misalnya saja pewarna tekstil digunakan sebagai pewarna kosmetik, atau pun—dan ini merupakan kasus yang paling banyak ditemukan—sebagai pewarna makanan. Entah karena ketidaktahuan produsen—memang harus diakui permenkes tersebut belum tersosialisasikan secara sempurna—atau memang karena unsur kesengajaan produsen mengingat harga pewarna tekstil (misalnya Rhodamine B yang sering digunakan )relatif jauh lebih murah dari pada pewarna makanan. Sebagai perbandingan, harga pewarna makanan mencapai Rp. 90.000,00/kg sedangakan harga Rhodamine B hanya sebesar Rp. 70.000,00/kg dengan takaran pemakaian yang hanya ¼ (seperempat) dari takaran pemakaian pewarna makanan.
Salah satu pewarna tekstil yang sering disalahgunakan sebagai pewarna makanan adalah Rhodamine B. Rhodamine B termasuk salah satu zat pewarna yang diperuntukkan sebagai pewarna kertas atau tekstil serta dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al. 2005). Zat pewarna ini memiliki berbagai nama lain, yaitu: Tetra ethyl rhodamin, Rheoninine B, D & C Red No. 19, C.I. Basic Violet 10, C.I. No 45179, Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant Pink B. Sedangkan nama kimianya adalah N-[9-(Carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanten-3- ylidene]- N-ethylethanaminium clorida dengan rumus molekul:

Rumus Kimia: C28 H31 CIN2 O3, BM: 479 g/mol
Secara fisik, Rhodamine B berbentuk kristal berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, mudah larut, dan dalam larutan akan berwarna merah terang yang berfluoresence.
Tanda – Tanda Makanan yang Mengandung Rhodamine B:
• Berwarna merah menyala, bila produk pangan dalam bentuk larutan/minuman warna merah berpendar atau berfotoluminesensi;
• Warna tidak pudar akibat pemanasan (akibat digoreng atau direbus);
• Banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen (misalnya pada kerupuk, es puter).
Penggunaan Rhodamine B dalam produk pangan dilarang karena bersifat karsinogenik kuat, dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati hingga kanker hati (Syah et al. 2005). Selain itu, Rhodamine B juga dapat menimbulkan iritasi pada saluran nafas, kulit, mata, dan pada saluran pencernaan.
Tanda – Tanda Keracuanan Akut Rhodamine B:
1. Terjadi iritasi pada saluran pernafasan;
2. Terjadi iritasi pada kulit jika kulit kontak dengan Rhodamine B;
3. Terjadi iritasi pada mata, mata kemerahan, dan oedema (pembengkakan) pada kelopak mata jika kontak dnegan mata;
4. Menimbulkan gejala keracunan dan air seni berwarna merah jika tertelan.
Pertolongan Pertama pada Keracunan Rhodamine B:
1. Bila terhirup segera pidahkan korban dari lokasi kejadian, pasang masker berkatup atau perlatan sejenis untuk melakukan pernapasan buatan, bila perlu hubungi dokter;
2. Bila terkena kulit segera lepaskan pakaian perhiasan dan sepatu penderita yang terkontaminasi/terkena Rodamin B;
3. Cuci kulit dengan sabun dan air mengalir sampai bersih dari Rodamin B, selama kurang lebih 15 menit sampai 20 menit. Bila perlu hubungi dokter;
4. Bila terkena mata, bilas dengan air mengalir atau larutan garam fisilogis, mata dikeip kedipkan sampai dipastikan sisa Rodamin B sudah tidak ada lagi atau sudah bersih. bila perlu hubungi dokter;
5. Bila tertelan dan terjadi muntah, letakan posisi kepala lebih rendah dari pinggul untuk mencegah terjadinya muntahan masuk ke saluran pernapasan. Bila korban tidak sadar, miringkan kepala ke samping atau ke satu sisi. Segera hubungi dokter.
Yogyakarta, 9 Dzulhijjah 1431 H
Monday, November 15, 2010
4.35 p.m
Rujukan:
Syah et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Dan berbagai sumber lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar