Kamis, 17 Maret 2011

Bahaya Radiasi Nuklir

TEMPO Interaktif
Selama ini bahaya pemakaian nuklir dinilai kurang disosialisasikan. Pakar nuklir Iwan Kurniawan menyatakan pembangunan PLTN di Muria di Jepara dan Madura dinilai tidak perlu mengingat bahaya yang ditimbulkan. Terlebih lagi energi alternatif yang bisa dipakai di Indonesia masih banyak ragamnya. Hal ini diungkapkan dalam sebuah diskusi soal rencana pembangunan PLTN di Unika Soegijapranata Sabtu (19/6).
Iwan yang mantan ahli nuklir di Badan Atom Nasional (BATAN) itu menilai pembangunan PLTN ini sangat besar resikonya terutama mengingat pengelolaan yang tidak hati-hati. “Kalau PLTN ini dikelola hati-hati memang aman, tetapi di Indonesia?sekarang kecenderungan negara-negara maju mulai menghentikan pengambilan energi nuklir ini karena kesulitan dalam pengelolaan limbahnya.”

Dikatakannya, selain bahaya kebocoran seperti di Chernobyl, resiko lainnya yakni bahaya radioaktif yang masih mengancam seusai pembangkit itu selesai dipakai. Ia menyebutkan tanda-tanda yang dialami saat terkena radio aktif nuklir itu. Gejala yang muncul dalam relatif singkat yakni pusing, muntah, rambut rontok, gigi tanggal dan penuaan dini. Soal penuaan dini ini, ia pernah bertemu korbannya berusia 13 tahun yang berubah seperti nenek-nenek dalam waktu 3 bulan. Menurutnya hal ini berbahaya bila zat radioaktif ini masuk ke rantai makanan. “Yang lebih jahat lagi, hal ini diturunkan secara genetis,” kata Iwan yang kini menjadi pengajar di STIE Nusantara Jakarta ini.

Ia mengungkapkan dalam waktu minimal 30 tahun, tempat pembangkit terutama sumur pembangkit itu menjadi sangat radiatif. “Dalam jangka waktu itu tempat itu tidak bisa dibiarkan, diurug, digunakan untuk makhluk hidup atau apapun. Karena umur radioaktif nuklir ini sangat panjang dengan kekuatan yang lama pula,”katanya.
Saat ini, limbah PLTN menjadi masalah bagi pengelola di negara maju. Mereka mempersoalkan bagaimana membuang limbah itu mengingat bahaya radioaktifnya itu. Bahaya radioaktif nuklir selama ini, kata dia, tak pernah diberitahukan kepada masyarakat. Maka ia pun tak heran ketika sebagian masyarakat menyatakan persetujuannya.
Pembangunan PLTN Muria dan Madura yang mengemuka kembali dinilai tidak memberi pengaruh yang positif. Adanya pembangunan PLTN ini, tak lebih karena cita-cita untuk penerapan ilmu para ahli di BATAN.
“Saat mulai dimunculkan pembangunan PLTN tahun 1992 itu bukan atas dasar prediksi kebutuhan energi listrik. Masih surplus listrik. Kalaupun sekarang ada pernyataan semacam itu, saya kira alternatif pembangkit energi ini masih banyak yang lain,” kata lulusan Universitas Tzukuba Jepang jurusan Fisika Nuklir Eksperimen ini.
Dia menilai kebutuhan energi di Indonesia untuk beberapa tahun mendatang masih bisa dicukupi dari pengembangan pembangkit tenaga lain.
Ia mencontohkan tenaga uap, gas alam, batu bara, angin dan panas bumi serta matahari. Dikatakan lagi bahwa tahun 1994 prediksi kecukupan tenaga pembangkit sudah pernah ada dan masih mencukupi. “Masih banyak alternatif lain, tapi mengapa harus nuklir yang sangat beresiko. Ini tergantung political will pemerintah,” tandas Iwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar