Minggu, 17 April 2011

Proyek Jalan Layang Cuma Memperparah Kemacetan

Langkah antisipatif dampak pembangunan proyek jalan layang non-tol (JLNT) atau flyover Pangeran Antasari-BlokM tak boleh disepelekan. Koordinasi dengan kepolisian dan masalah lingkungan sempat terkesampingkan. Sebab, proyek ini diramal hanya akan menambah kemacetan makin parah saja.
Seperti diketahui, proyek JLNT ren­cananya rampung pada 2012 ini, membentang dari Pasar Inpres Cipete hingga Lapangan Mabak Blok M. Menurut Kepala Bidang Jembatan Dinas Peker­jaan Umum (PU) DKI Jakarta No­vizal, proyek pembangunan fly­over Antasari dan flyover Casablanca yang sedang proses pem­bangunan oleh Pemprov DKI Jakarta, menelan biaya Rp 1,28 triliun.
“Untuk jalan layang An­tasari nilainya Rp 737 miliar dan jalan layang Casblanca DKI ada­lah sisanya,” ujar Novizal.
Panjang flyover Antasari, je­lasnya, diperkirakan sejauh 4,8 km dengan lebar 8,75 me­ter un­tuk satu jalur. Total lebar ja­lan layang menjadi 17,5 meter ka­rena akan dibuat dua jalur, de­ngan ke­tinggian 10 meter dari jalan yang telah dibangun sebe­lum­nya.
Namun, pembangunan flyover ini juga ditanggapi miring oleh sebagian warga. Pemprov tak bo­leh menyepelekan ini. Adanya an­caman kemacetan sebagai dam­pak pembangunan proyek tersebut, juga banyaknya ruang terbuka hijau (RTH) yang akan dikorbankan, harus segera ditin­dak­lanjuti.
Salah satu komentar itu malah disampaikan Direktorat Lalulintas Jalan Raya (Ditlantas) Polda Me­tro Jaya. Pihak Ditlantas me­nyesalkan kelambanan Pemprov DKI berkoordinasi dengan kepolisian terkait proyek ini.
“Pembangunan jalan layang tersebut memang untuk mengurai kemacetan. Polisi menyilakan saja agar jalan layang itu dibuat. Tapi ingat, perlu kerja sama un­tuk pengalihan arus,” ungkap Direk­tur Lalulintas Polda Metro Jaya Kom­bes Royke Lumowa.
Dampak kemacetan yang di­timbulkan dari proyek tersebut memang sangat dirasakan pada saat awal pembangunannya. Bayu, 22 tahun, seorang pengen­dara motor mengatakan, jalanan di sana memang sudah biasa macet. Dengan adanya pemba­ngu­nan ini, menurutnya, kemace­tannya semakin parah.
Dari kantor Walikota Jakarta Selatan sampai ter­minal bus Blok M bisa menghabiskan waktu 30 menit,” cetusnya. Saat ini, lan­jut­nya, kemacetan memang sedikit berkurang dengan ada­nya pengalihan jalan yang dila­kukan pihak ke­polisian.
Selain dampak kemacetan, pembanguan tersebut dikhawatirkan berdampak pula pada ling­­ku­ngan. Sebagaimana yang diung­kapkan pengamat Satuan Khusus Lingkungan Hidup (Environmental Task Force) Ahmad Safrudin, pembangunan flyover ini pastinya akan mengu­rangi RTH yang pasti pula ber­dampak besar pada lingkungan.
Dia mengaku menyesalkan mengapa Pemprov tidak belajar dari beberapa negara yang sudah me­ninggalkan tradisi menambah ja­lan layang ini, seperti New Del­hi (India) dan sebagian ne­gara Ame­rika Latin. Dia juga mencontohkan kota-kota Asia lainnya seperti di Seoul, Korea Selatan (Korsel).
Di Seoul, pemerintah Ko­rsel pernah membangun proyek jalan layang pada 1968 untuk mengatasi ke­macetan. Tapi setelah 35 tahun, kemacetan tetap tidak terselesaikan. Kemu­dian jalan layang tersebut akhir­nya dirun­tuhkan, dan dikembalikan pada fungsinya sediakala.
“Pembangunan jalan layang non tol Antasari-Blok M dan Kam­pung Melayu-Tanah Abang tidak akan mengatasi kemace­tan. Sebaliknya, hanya melanggengkan kemacetan di Jakarta,” tegas Safrudin.
Sementara Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Ubaidillah berpendapat, proyek jalan layang tersebut ha­nya sebagai solusi sementara pe­nanggulangan kemacetan.
Menurutnya  adanya flyover yang akan menambah ruas jalan, justru se­makin memicu pertum­buhan peng­guna kendaraan pri­badi. Ubai juga mengingatkan Pem­prov DKI Jakarta agar pem­­ba­ngu­nan flyover itu ti­dak merusak kondisi lingkungan.
Ubai berharap, ada langkah re­habilitasi Pemprov DKI me­ngem­balikan kawasan tersebut kembali menjadi ramah lingku­ng­an pasca pembangunan fly­over tersebut.
Sedangkan aktivis Koalisi Warga Jakarta Shanty Syahril me­nilai, Pemprov DKI Jakarta hanya mengacu pada rasio jalan dalam upaya mengurai kemace­tan. Padahal, yang seharusnya dipakai adalah transportasi pub­lik. “Pembangu­nan proyek ini sebagai bentuk in­­konsistensi pemprov yang se­lama ini selalu mewacanakan transpor­tasi pub­lik, tapi malah memba­ng­un jalan layang,” tukas Shanty.   [RM]
Sumber : http://nusantara.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=20936

Tidak ada komentar:

Posting Komentar